Apa Kabar Buruh Masa Reformasi?

Dengan ditopang oleh semangat demokrasi usai masa Orde Baru berakhir, setiap tahun Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal dengan May Day akan diperingati oleh para buruh di Indonesia dengan turun ke jalan. Kehidupan buruh yang tidak banyak berubah memicu langgengnya metode perayaan ini. Begitu pula yang dilakukan oleh sekitar 50.600 buruh dari Jakarta, Bandung, Cirebon, Tangerang, Bogor, Cilegon, Subang, Karawang, Bekasi, Purwakarta, dan Depok di Jakarta pada Minggu, 1 Mei 2016 lalu. Rencananya mereka akan melakukan long march yang dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) menuju Istana Negara. Adapun isu yang diangkat tahun ini — khususnya oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) — disebut Sepultura (Sepuluh Tuntutan Rakyat) memuat poin-poin tuntutan yang ditujukan terhadap pemerintah sebagai berikut.
1. Hapus sistem kerja kontrak dan outsourcing
2. Tolak upah murah dan berlakukan upah layak nasional
3. Hentikan PHK, Union Busting, serta kriminalisasi anggota dan pengurus serikat buruh
4. Laksanakan hak buruh perempuan sekaligus lindungi buruh migran Indonesia
5. Tangkap, adili, dan penjarakan pengusaha “nakal”
6. Jaminan sosial bukan asuransi sosial
7. Turunkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan kebutuhan pokok
8. Pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat
9. Tolak privatisasi, bangun industri nasional
10. Tanah untuk kesejahteraan rakyat
Akan tetapi, kegiatan tersebut mendapatkan larangan keras dengan mengacu pada imbauan yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya berdasarkan peraturan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Pada peraturan tersebut dicantumkan bahwa buruh hanya diperkenankan melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Bundaran Patung Arjuna Wijaya, serta 100 meter setelah pagar batas Istana Negara. Karena itu, telah diatur antisipasi sedemikian rupa dari pihak kepolisian atas aksi long march yang melewati kawasan Bundaran HI. Upaya-upaya tersebut dilakukan sebab peringatan May Day kali ini bertepatan dengan pelaksanaan hari bebas kendaraan bermotor atau car free day yang diadakan tiap hari Minggu pada pukul 06.00 – 11.00 WIB di sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan Thamrin. Untuk memastikan lancarnya kegiatan car free day, pihak kepolisian sama sekali tidak mengizinkan massa aksi melintasi Jalan Sudirman – Thamrin. Setelah menyelenggarakan serangkaian komunikasi dengan masing-masing koordinator lapangan, tercapai sejumlah kesepakatan untuk mengatur rute unjuk rasa. Massa yang berasal dari wilayah timur akan diarahkan menuju Tugu Tani dan berakhir di IRTI Monas. Sedangkan massa yang berasal dari wilayah barat akan dipandu ke Tugu Adipura untuk selanjutnya dipertemukan di Stadion Utama Gelora Bung Karno seluruhnya.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Ketetapan MPR,
3. UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU,
4. Peraturan Presiden,
5. Peraturan Menteri,
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Merujuk pada ketentuan itu pula, peraturan yang berada di bawah suatu peraturan lain bersifat menjabarkan peraturan yang ada di atasnya dan cenderung mengarah pada tataran praktis. Hal tersebut menimbulkan dua implikasi; a) Peraturan yang secara hierarkis berada di atas sebuah peraturan lain otomatis menjadi sumber hukum dari peraturan yang ada di bawahnya, dan b) Peraturan yang secara hierarkis berada di bawah sebuah peraturan lain tidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya.
Kasus pelarangan buruh melewati Jalan Sudirman – Thamrin dalam rangka memperingati May Day dengan mengatasnamakan kelancaran rutinitas car free day bukan semata-mata peristiwa yang dapat dilihat sesederhana,

“Ganti rute saja susah amat sih….”.

Ketentuan pelaksanaan car free day yang dijadikan sebagai sumber legitimasi dari Polda Metro Jaya sekaligus mendapat dukungan dari Gubernur DKI Jakarta sesungguhnya terdapat pada Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menetapkan bahwa hari bebas kendaraan bermotor alias car free day dilaksanakan di wilayah tertentu sekurang-kurangnya sekali dalam satu bulan. Akan tetapi, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menerangkan bahwa mogok kerja merupakan hak dasar para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Bahkan institusi pemerintah dan perusahaan yang menerima pemberitahuan adanya kegiatan mogok kerja diwajibkan untuk menerima sebab siapapun dilarang menghalang-halangi kegiatan tersebut. Dengan kata lain, upaya aparat kepolisian melarang aksi long march yang awalnya digagas melewati Bundaran HI menuju Istana Negara dengan menggunakan dalih pelaksaan car free day tidak dapat dibenarkan. Sebab UU No. 13 Tahun 2003 jelas berada di posisi yang lebih tinggi dari Peraturan DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Alih-alih menjamin keleluasaan gerakan buruh yang mulai menggeliat sebagai sebuah kekuatan politik pasca Orde Baru, pemerintah — dalam hal ini merupakan pemerintah DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya — justru melakukan intervensi terhadap hak dasar buruh yang sedang berusaha digunakan untuk meningkatkan daya tawarnya agar tidak lagi mengalami marjinalisasi dari proses industrialisasi.
Nampaknya, pola developmental repressive state tidak berakhir bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru. Pada kenyataannya, model akomodasi negara, kapital, dan buruh tersebut masih saja menancapkan hegemoninya sehingga kasus pelarangan peringatan May Day tersebut dapat terjadi di DKI Jakarta. Secara tersirat, peran negara yang diwakili oleh Pemda DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya muncul sebagai kekuatan dominan yang abai terhadap ketentuan mengenai mogok kerja yang terdapat pada UU No. 13 Tahun 2003 demi menjaga stabilitas.

Model Akomodasi Negara, Kapital, dan Buruh

Pendukung “demokrasi partisipasi” berargumen bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan-keputusan politik mengandung kebermanfaatan yang besar, diantaranya ialah meningkatnya kesadaran moral, sosial, politik, dan bahkan perkembangan intelektual mereka . Di sisi lain, tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam politik dianggap dapat menimbulkan perselisihan dan terganggunya tatanan sosial yang dikarenakan adanya ekspresi loyalitas secara lebih serius sehingga terdapat usaha untuk mewujudkan pandangan-pandangan politik mereka.
Peran besar serikat buruh yang dianggap dapat menjadi tolok ukur demokrasi menemui hambatan pada implementasinya di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan momentum pembangunan Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia yang mengalami keterlambatan antara tahun 1940-an sampai tahun 1960-an sehingga negara berperan sentral dalam hal pembangunan ekonomi. Maka kemudian negara menjadi sangat dominan dan buruh semakin mengalami marjinalisasi dari proses industrialisasi. Model akomodasi negara, kapital, dan buruh ini disebut dengan exclusionary populism. Adapun karakteristiknya antara lain ialah kuatnya peran negara, pemodal dari luar negeri yang dilayani oleh negara, serta stabilitas dan iklim investasi yang menjadi suatu keharusan untuk dijamin negara.
Kepentingan yang berbeda dari pihak buruh dan korporasi merupakan suatu hambatan tersendiri bagi gerakan buruh. Buruh tentu saja ingin meningkatkan taraf hidupnya sedangkan perusahaan akan berusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut menyebabkan gerakan buruh terbatas pada negosiasi lunak, baik dengan pemerintah maupun perusahaan. Sebab buruh sendiri tidak memiliki daya tawar yang memadai karena adanya ketakutan menghadapi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) apabila mereka melakukan perlawanan. Ditambah dengan pertimbangan yang teknis dan apolitis dalam rangka menjunjung tinggi pembangunan fisik, developmental repressive state ini, khususnya Indonesia mengeluarkan buruh dari ranah partisipasi dengan memastikan para buruh dibayar dengan upah semurah mungkin dan tidak “vokal” baik dalam menyuarakan aspirasinya pribadi maupun dalam upaya mengadvokasikan kepentingan kolektif guna menjaga situasi politik supaya tetap stabil dan adem ayem. Demi menarik investor agar bersedia menanamkan modalnya, negara yang seharusnya melindungi dan menjamin kesejahteraan buruh justru mengesampingkan kedua tanggungjawab tersebut.

Gerakan Buruh di Era Reformasi

Berakhirnya era otoritarianisme Orde Baru memberikan angin segar demokrasi pada masa setelahnya yaitu Reformasi. Masa yang identik dengan demokratisasi ini digambarkan melalui kebebasan menyatakan pendapat maupun membentuk partai dan serikat sehingga buruh beserta serikat buruh dapat bergerak dengan lebih leluasa. Terbukti dalam rentang waktu Mei – Juni 2001 ribuan buruh di pelbagai daerah mampu “memaksa” pemerintah untuk memulihkan kembali peraturan pemerintah yang dianggap memiliki keberpihakan pada mereka yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan . Bahkan pada beberapa tahun setelahnya, yaitu sekitar April – Mei 2006, gerakan buruh mampu membendung usaha pemerintah untuk meninjau kembali UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .
Akan tetapi, terlepas dari pola pengorganisasian diri dan penyebarluasan pengaruh yang menjadi keunggulan tersendiri, gerakan buruh dianggap belum bisa menjadi kekuatan politik yang signifikan pasca Orde Baru. Terlebih semenjak dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2000 yang mengatur Serikat Pekerja/Serikat Buruh di mana terdapat jaminan kebebasan berserikat sehingga wadah bagi gerakan buruh pada masa Reformasi tak terkungkung hanya berada di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagaimana yang terjadi pada tahun 1985. Dengan kata lain, rendahnya koordinasi serta konflik yang terjadi baik dalam internal serikat buruh maupun dengan serikat buruh yang lain merupakan penyebab dari kegagalan gerakan buruh dalam memanfaatkan momentum. Padahal hadirnya demokrasi di masa Reformasi seharusnya dapat dijadikan sebagai lahan subur untuk membangun konsolidasi yang kuat di dalam gerakan buruh sendiri.
Meski demikian, gerakan ini tidak dapat dinilai sepenuhnya gagal dalam membaca situasi sekarang yang mampu membuat demokrasi beserta penjaminan atas kebebasan berserikat dan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di muka umum menjadi tren yang populer. Tercatat pada tahun 2012 lalu, buruh dari berbagai serikat yang ada di Indonesia berhasil melakukan aksi mogok masal. Terdapat dua hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut, yaitu melonjaknya jumlah anggota serikat buruh secara signifikan dan banyaknya tuntutan dari buruh yang dimenangkan oleh perusahaan tanpa harus melalui proses penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial.

 

Referensi

Arifin, Syarif, dkk. 2012. Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Perburuhan Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: Kepik.
Heywood, Andrew. 2013. Politik edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Potter, David. 2000. Democratization. Cambridge: Open University Press.
Rueschemeyer, Dietrich, Evelyn H. Stephens, dan John D. Stephens. 1992. Capitalist Development and Democracy. Chicago: University of Chicago Press.
Hendrastomo, Grendi. 2010. ”Menakar Kesejahteraan Buruh: Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi” dalam Jurnal Informasi Vol. 16 No. 2.
Juliawan, Benny Hari. 2011. “Street-level Politics: Labour Protest in Post-Authoritarian Indonesia” dalam Journal of Contemporary Asia. London: Routledge.
Anonim. 2016. “Mayday: “Pertarungan Buruh Melawan Majikan adalah Suatu Keharusan” “ dalam Anarkis.org, http://anarkis.org/hari-buruh-1-mei-2016-kasbi-parto/, diakses pada 5 Mei 2016.
Permana, Dany. 2016. “Peringati “May Day”, Buruh Dilarang Unjuk Rasa di Bundaran HI”dalam Kompas, http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/01/07313391/Peringati.May.Day.Buruh.Dilarang.Unjuk.Rasa.di.Bundaran.HI?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp diakses pada 5 Mei 2016.
Qodar, Nafiysul. 2016. “May Day Saat Car Free Day, Ini Rute Demo Buruh di Jakarta” dalam http://news.liputan6.com/read/2495882/may-day-saat-car-free-day-ini-rute-demo-buruh-di-jakarta, diakses pada 5 Mei 2016.
Savirani, Amalinda. Bahan ajar mata kuliah Politik Perburuhan materi “Konsep Buruh, Pekerja, dan Karyawan” diakses pada 5 Mei 2016.
Savirani, Amalinda. Bahan ajar mata kuliah Politik Perburuhan materi “Model Akomodasi Negara, Kapital, dan Buruh” diakses pada 5 Mei 2016.
Undang – Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published.