
Alkisah, usai masa penciptaan manusia oleh Eros yang dibantu Prometheus dan Epimetheus, dua putra termuda dewa Lapetus, Epimetheus menerima Pandora sebagai pasangan dan hidup berbahagia. Akan tetapi, kemudian muncul Mercury, utusan Jupiter yang memberikan sebuah kotak pada keduanya untuk dijaga. Jupiter, raja para dewa yang bersemayam di di pucuk Olympus, berpesan padanya untuk tidak pernah membuka kotak tersebut. Daya pikat kotak yang dibawa Mercury sungguh luar biasa hingga membuat Pandora untuk pertama kalinya menolak ajakan Epimetheus untuk bercengkrama dengan sahabat mereka dalam pesta yang meriah. Keingintahuannya mendorong Pandora untuk membuka kunci pengaman dan terdengarlah bisikan-bisikan lirih yang berulang,
“Pandora, dear Pandora, have pity upon us! Free us from this gloomy prison! Open, open, we beseech you!”
Dari kejauhan terdengar langkah kaki Epimetheus yang memaksa Pandora, pada detik-detik terakhir, memutuskan untuk membuka penutup kotak dan dengan segera makhluk kecil bersayap coklat berhamburan keluar melalui dirinya dan Epimetheus, terus bermanuver melewati pintu dan jendela, serta dengan cepat menyebar ke seluruh kawasan. Ternyata, makhluk kecil tersebut tak lain merupakan penyakit, kesedihan, kejahatan, dan pelbagai tingkah laku immoral. Tetapi di tengah pertengkaran Pandora dan Epimetheus, terdengar sayup-sayup rintihan dari dalam kotak yang sama,
“Open, open, and I will heal your wounds! Please let me out!”
Keduanya pun berpandangan hingga kemudian memutuskan untuk kembali membuka kotak tersebut dan keluarlah “harapan” yang segera melipur lara dan kemarahan yang mereka alami untuk pertama kalinya. “Harapan” akhirnya menjadi kekuatan yang hadir bersisihan dengan “makhluk kecil bersayap coklat” dalam kehidupan manusia*. Mitologi Kotak Pandora di atas pada awalnya digunakan oleh Cornelis Lay untuk menggambarkan realitas perkembangan Indonesia di tahun awal reformasi**. Namun mitologi ini juga tepat apabila dilihat sebagai metafora dari aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa UGM, tenaga pendidik (Tendik), serta pedagang Kantin Bonbin pada 2 Mei lalu. Pandora adalah Pesta Rakyat yang berhasil membuka selubung carut-marutnya pengelolaan Uang Kuliah Tunggal (UKT), tunjangan kinerja (Tukin) bagi para tenaga pendidik serta Kantin Bonbin. Sebagaimana telah diprediksi sebelumnya, pemberitaan yang masif mengenai kebobrokan yang selama ini tersimpan rapi di balik angkuhnya Balairung UGM tentu menjadi ketakutan tersendiri bagi pihak Rektorat.
Selama ini pihak universitas — dalam hal ini adalah Rektor beserta jajarannya — selalu menempatkan diri sebagai The Know-It-All dengan penentuan biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tanpa melibatkan mahasiswa itu sendiri. Akan tetapi, ketika timbul berbagai masalah dalam implementasinya, seakan mereka berkata, “Kalau tidak bisa bayar, tidak usah kuliah disini, Mas, Mbak”. Bahkan formulasi dalam penentuan besaran dan golongan UKT yang tak lain merupakan dokumen publik tidak dapat diakses sama sekali oleh mahasiswa. Permendikbud no. 55 tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tinggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemdikbud menyatakan bahwa penetapan UKT menggunakan subsidi silang (biaya kuliah dibebankan sesuai kapasitas ekonomi), pengendalian biaya yang tepat serta mengusahakan uang kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa semakin sedikit dari sebelumnya sebagai prinsip dasar***. Akan tetapi, kajian yang telah dilakukan oleh Tim Advokasi UGM justru membuktikan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Pada program studi Biologi, akumulasi biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa sejak registrasi awal hingga wisuda maksimal hanya 40 juta rupiah. Sedangkan dengan menggunakan sistem UKT, seorang mahasiswa Biologi yang mendapatkan golongan UKT 6 harus siap merogoh kocek sebesar 99 juta rupiah untuk 9 semester sebagai biaya kuliah yang dibebankan kepadanya****. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya ialah penentuan besaran UKT selain UKT 1 yang berada pada kewenangan UGM memicu adanya range UKT yang tidak proporsional dimana pada golongan UKT 1-4 memiliki besaran yang berkisar kurang dari 5 juta rupiah, pada golongan UKT 5 memiliki besaran yang jauh lebih luas yaitu 5 – 10 juta rupiah, dan pada golongan UKT 6 memiliki besaran lebih dari 10 juta rupiah. Ditambah dengan ketidakjelasan mekanisme keringanan, bahkan pada Fakultas Kedokteran UGM terdapat Indeks Prestasi minimal 3,00 yang harus dimiliki oleh mahasiswa supaya dapat mengajukan keringanan. Tapi, itu belum seberapa.
Dengan kata lain, pelaksanaan sistem UKT di UGM memerlukan peninjauan ulang di sana-sini. Pihak rektorat tidak dapat menutup mata dan telinga begitu saja ketika terdapat mahasiswa yang bahkan harus kehilangan tempat tinggal demi tetap mengikuti kegiatan perkuliahan di UGM. Namun, bukannya mendedikasikan diri supaya permasalahan UKT pada tataran teknis segera menemui titik terang, Rektor beserta jajarannya justru mengeluarkan kebijakan yang sungguh tidak bijak, yaitu rencana penggusuran Kantin Bonbin dan tidak dicairkannya tunjangan kinerja selama 20 bulan.
Sebelum Pesta Rakyat 2 Mei, telah diadakan sejumlah aksi terkait kedua hal tersebut. Baik dari tenaga pendidik sendiri untuk menuntut pencairan tunjangan kinerja sebagai hak mereka hingga presentasi interdisipliner oleh mahasiswa untuk mengkaji bahwa Kantin Bonbin lebih membutuhkan renovasi daripada penggusuran. Namun, Rektorat justru mengeluarkan mahasiswa, pedagang, dan tenaga pendidik dari ranah partisipasi dengan memberlakukan mutasi pada sejumlah tenaga pendidik yang menginisiasi aksi dan disusul dengan dilayangkannya SP 2 bagi para pedagang di Kantin Bonbin. Kekecewaan atas penindasan Rektorat yang dirasakan oleh para mahasiswa, tenaga pendidik, dan pedagang Kantin Bonbin mencapai titik kulminasinya pada Minggu, 1 Mei 2016 ketika Rektor UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D memberikan pernyataan di salah satu stasiun radio bahwasanya Pesta Rakyat yang akan dihelat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016 merupakan salah satu simulasi politik praktis yang diadakan oleh universitas. Perubahan dalam sifat dan derajat kontrol terhadap informasi pada masa sekarang menyebabkan pihak Rektorat tidak siap dalam menghadapi sejumlah opini yang beredar di dunia maya, ditambah lagi dengan unjuk rasa pada Pesta Rakyat yang jelas-jelas mendapatkan perlindungan UU no. 9 tahun 1998 mengenai Kebebasan Berpendapat di Muka Umum. Sehingga dijalankanlah perbuatan tidak ksatria Rektorat dengan pemberian pernyataan fiktif terkait simulasi aksi tersebut yang diharapkan mampu “menyelamatkan” citranya. Bahkan seusai aksi, bukannya berhenti memberi ancaman pidana pada mahasiswa, sejumlah antek-antek Rektorat justru dengan gencarnya “mengadili” para peserta Pesta Rakyat.
Karena itulah, saya setuju jika seharusnya publik, terutama alumni UGM, merasa prihatin sebab nama baik UGM benar-benar tercoreng dengan “makhluk kecil bersayap coklat” — bobroknya pengelolaan yang dilakukan oleh Rektorat UGM — yang menyebabkan Pesta Rakyat 2 Mei musti terjadi. Tapi saya pribadi juga tidak akan pernah meminta maaf untuk mengatakan bahwa Pesta Rakyat 2 Mei memang anarkis*****, sebab para peserta merupakan individu-individu, dengan ketidakberdayaan hasil konstruksi Rektorat yang sama, yang menolak adanya peran dominan dari Rektor UGM beserta jajaran dalam mengeluarkan kebijakan yang berdampak pada semua pihak di UGM. Akhir kata, Rektorat UGM sebaiknya mulai merangkul mahasiswa sebagai subyek, bukan obyek. Karena disitulah mula segala masalah.
Yogyakarta, 4-5-2016
Sedang berusaha berteman baik dengan keberanian dan kejujuran
Catatan Kaki
*Mitologi Kotak Pandora dinarasikan secara ringkas berdasarkan versi H. A. Guerber, The Myths of Greece and Rome, G. Harrap & Co., 1907.
**Cornelis Lay, Involusi Politik: Esai-Esai Transisi Indonesia, (Yogyakarta: PLOD Universitas Gadjah Mada, 2006), halaman 1-5.
***Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bahan Konferensi Pers Uang Kuliah Tunggal, 27 Mei 2013.
*****Terminologi “anarkis” acapkali disalahpahami sebagai “chaos” maupun “tanpa tatanan”. Menurut hemat penulis, gagasan ini merupakan teori politik yang mengingkari hierarki karena berpandangan bahwa setiap individu memiliki derajat yang sama. Lebih lanjut dapat mengakses http://anarkis.org/anarkis-faq/bag-….