Kebangkitan Feminisme-Marxisme
Sebelum masyarakat kelas berkembang yaitu pada periode sejarah yang biasa disebut oleh kaum Marxis sebagai komunisme primitif atau masyarakat berburu-meramu, produksi sosial dilakukan secara komunal dan hasilnya dibagi sama rata. Adapun pembagian tugas berdasarkan usia, gender, dan sebagainya dalam kelompok sosial yang lebih besar tidak diwarnai dengan eksisnya penindasan atau penghisapan dari sub-kelompok yang ada. Baik laki-laki maupun perempuan turut berpartisipasi dalam kelangsungan hidup kelompok sosial dengan menjaga agar tersedia cukup makanan bagi semua orang. Namun seiring dengan transisi dari masyarakat pra kelas menuju kelas, akumulasi kekayaan pribadi mengembangkan unit keluarga sebagai institusi sosial ekonomi pokok yang dapat memproduksi manusia baru sebagai tenaga kerja yang nantinya dapat dieksploitasi sekaligus membagi antara mereka yang mempunyai kepemilikan dan hidup dari kekayaan yang dihasilkan oleh orang lain serta mereka yang tidak mempunya kepemilikan dan harus bekerja untuk orang lain agar dapat hidup. Kehancuran egalitarianisme dan pola hidup komunal serta struktur komunisme primitif ini penting perannya dalam kehadiran kelas dalam masyarakat yang mengekspolitasi dan tak lupa, percepatan akumulasi kekayaan pribadi.
Selama berabad-abad, penindasan perempuan telah menjadi ciri esensial masyarakat berkelas. Pemberontakan kaum perempuan untuk melawan penindasan berdasarkan jenis kelamin telah diinisiasi sejak akhir 1960-an. Bahkan ribuan kelompok pembebasan perempuan bermunculan dan puluhan ribu dimobilisasi dalam demonstrasi pada 26 Agustus 1970 untuk memperingati perayaan ke-50 kemenangan perjuangan perempuan Amerika untuk mendapat hak pilih . Gerakan pembebasan perempuan membongkar dan melawan pada sektor manapun seksisme berkembang baik di ranah politik, pekerjaan, pendidikan, termasuk pekerjaan rumah tangga. Sebab dalam masyarakat kelas, kapitalisme telah memodifikasi dan menyempurnakan penindasan terhadap perempuan melalui unit terkecil yaitu unit keluarga. Bertahannya domestifikasi perempuan berperan supaya perempuan tetap melakukan kerja tak dibayar di rumah seperti memasak, mencuci, menjaga anak, maupun merawat orangtua dan mereka yang sakit. Hal tersebut “membantu” negara kapitalis dari kewajibannya untuk menjamin serta mensubsidi beberapa fungsi ekonomi dan sosial seperti tunjangan pengangguran bagi “ibu rumah tangga” serta pengadaan layanan sosial seperti perawatan anak, kesehatan, dan fasilitas untuk orangtua utamanya bagi kelas pekerja. Andaikata domestifikasi kerja-kerja perempuan tetap dilakukan, maka upah riil harus cukup tinggi untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan dalam keluarga.
Mempertahankan sistem keluarga merupakan kebijakan politik paling mendasar pada setiap negara kapitalis demi kebutuhan sosial dan ekonomi kapitalis itu sendiri. Keseluruhan suprastruktur ideologi yang memperkuat fiksi bahwa tempat perempuan adalah di rumah menyebabkan rendahnya protes akan seberapa banyak jumlah perempuan yang menganggur, sebab pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di wilayah non-domestik dianggap hanya sebagai penghasilan tambahan bagi keluarga. Dengan begitu, pada masa krisis ekonomi, langkah-langkah represi dari kelas yang berkuasa selalu termasuk serangan terhadap hak perempuan untuk bekerja.
Bebas Bekerja, Tapi Tidak Bebas Masalah
Meskipun kemudian perempuan mendapatkan haknya untuk bekerja di sektor manapun bahkan yang termasuk pada ranah non-domestik, bukan berarti hal tersebut mengurangi masalah yang dihadapinya.
- Kerentanan
Pekerja perempuan berada dalam posisi rentan karena posisi tawar mereka yang rendah di pasar buruh. Mereka juga rentan terhadap eksploitasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan memecat dan memperkerjakan serta menaikkan atau menurunkan pangkat atau jabatan. Kebanyakan perempuan tidak memiliki jaminan kerja dan terpaksa menerima posisi yang selalu berisiko besar untuk mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pemotongan gaji saat sakit atau absen . - Usia
Sektor swasta lebih memilih mempekerjakan perempuan muda karena murah dan sering tidak memiliki tanggungan keluarga, bahkan mereka acapkali memecat buruh perempuan dengan semena-mena jika ia menikah atau hamil. Kecenderungan merekrut angkatan kerja usia muda yang berasal dari daerah pedesaan juga untuk menjauhkan dari hak-hak mereka sehingga mereka tidak dapat mengatasi pengendalian atas diri mereka . Banyak buruh perempuan dipaksa keluar dari pekerjaannya ketika mereka menikah atau mempunyai anak karena tidak adanya fasilitas penitipan anak yang terjangkau. Opsi yang dapat mereka pilih ialah menerima pekerjaan dengan pembayaran sesuai volume kerja yang membuat mereka sama sekali tidak dilindungi UU Perburuhan . - Pekerja Tetap dan Tidak Tetap
Praktik mempekerjakan perempuan sebagai pekerja tidak tetap yang dibayar sesuai volume kerja memungkinkan pihak swasta membayar mereka dengan upah di bawah standar dan menghindari tanggungjawab memberi cuti hamil, tujangan kesehatan, maupun pensiun. Ada pula kecenderungan perempuan tidak diperlakukan “berkeluarga” sehingga tidak memperoleh haknya yang berupa tunjangan anak. Asumsi bahwa pendapatan perempuan hanya bersifat sebagai penghasilan tambahan digunakan demi keuntungan pihak swasta belaka. - Kondisi Kerja
Banyak pekerjaan yang ditugaskan pada buruh perempuan di bidang industri manufaktur bersifat monoton namun dituntut untuk cepat dan tepat dalam lingkungan yang gaduh, sesak, lembab, dengan ventilasi buruk., acapkali tempat duduk yang tidak memadai serta sanitasi buruk . Terdapat kecenderungan kurang dipertimbangkannya pengaruh jangka panjang pekerjaan buruh perempuan yang dapat mengakibatkan cedera kronis sementara cedera traumatis akut yang diderita buruh laki-laki lebih mendapatkan perhatian segera. - Produktivitas
Hambatan yang berkaitan dengan produktivitas pada buruh perempuan lebih besar daripada buruh laki-laki. Dalam banyak kasus, buruh perempuan memiliki beban yang lebih berat karena kelelahan kronis yang diakibatkan peran ganda, tingkat asupan gizi rendah, anemia (karena menstruasi), serta tekanan sosial dan budaya.
Referensi
Indoc (Indonesia Documentation Centre). 1981. Indonesian Workers and Their Right to Organize. Leiden.
Kemp, Melody. 1991. Improvement of Women’s Working Conditions and Welfare, Completion Report. Jakarta: ILO.
Partai Demokratik Sosialis. 2015. Feminisme dan Sosialisme: Menjelaskan Penindasan Perempuan dari Perspektif Marxisme. Yogyakarta: Rumah Penerbitan Bintang Nusantara.
Suryakusuma, Julia. 1985. “Relationships under the Rubber Trees” dalam Prisma no 41. Jakarta: LP3ES.
White, Mary C. 1988. ILO Terminal Report.